BELAJAR PSIKOLOGI WANITA DARI KHADIJAH



Oleh : Pizaro(Mahasiswa Bimbingan dan Penyuluhan Islam Fak. Dakwah dan Komunikasi UIN Jakarta)
Psikologi Wanita adalah keteladanan
Dalam konten psikologi Islami, semangat dari psikologi wanita adalah keteladanan. Cara ini dengan mudah untuk di pahami, karena kita dapat melihat realitas yang ada dari tokoh muslimah yang memberikan contoh berakhlak yang baik sebagai wanita. Dalam kesempatan ini, penulis coba akan mengangkat Khadijah binti Khuwailid sebagai jalan menemukan itu.
Istri nabi Muhammad yang pertama ini diangkat semata-mata telah memberikan tafsiran ulang mengenai arti seorang wanita bagi kita semua. Wanita yang tersudutkan terhadap definisi kecantikan dan muda secara empirik, namun terlempar dari fakta keteladanan bagi dinamika kehidupan. Ummi Khadijah bagai dahaga bagi kaum muslim, karena walaupun secara umur jauh diatas Nabi Muhammad dan dapat dibilang sedang melewati masa tua, namun api jiwa enerjiknya terus menyala walau telah disiram “air” setiap saat. Ini penting bagi kita yang justru menaruh makna masa tua sebagai menurunnya aktivitas dan spirit.
Sejatinya masa tua adalah masa penuh kreativitas, masa penuh memberi sumbangsih bagi masyarakat, masa membentuk tujuan mulia di sela-sela kehidupan, bukan masa stagnasi dan persistensi, begitulah dikatakan Erik Hamburger Erikkson dengan skema generativitas dan stagnasinya. Kita akan belajar psikologi itu dengan dosen kita kali ini adalah Khadijah binti Khuwailid.
Asam Garam seorang Istri
Beliau adalah seorang sayyidah wanita sedunia pada zamannya. Dia adalah putri dari Khuwailid bin Asad bin Abdul Uzza bin Qushai bin Kilab al-Qurasyiyah al-Asadiyah. Dijuluki ath-Thahirah yakni yang bersih dan suci. Sayyidah Quraisy ini dilahirkan di rumah yang mulia dan terhormat kira-kira 15 tahun sebelum tahun fill (tahun gajah). Beliau tumbuh dalam lingkungan keluarga yang mulia dan pada gilirannya beliau menjadi seorang wanita yang cerdas dan agung. Beliau dikenal sebagai seorang yang teguh dan cerdik dan memiliki perangai yang luhur. Karena itulah banyak laki-laki dari kaumnya menaruh simpati kepadanya.
Pada mulanya beliau dinikahi oleh Abu Halah bin Zurarah at-Tamimi yang membuahkan dua orang anak yang bernama Halah dan Hindun.Tatkala Abu Halah wafat, beliau dinikahi oleh Atiq bin 'A'id bin Abdullah al-Makhzumi hingga beberapa waktu lamanya namun akhirnya mereka cerai.
Setelah itu banyak dari para pemuka-pemuka Quraisy yang menginginkan beliau tetapi beliau memprioritaskan perhatiannya dalam mendidik putra-putrinya, juga sibuk mengurusi perniagaan yang mana beliau menjadi seorang yang kaya raya. Suatu ketika, beliau mencari orang yang dapat menjual dagangannya, maka tatkala beliau mendengar tentang Muhammad sebelum bi'tsah (diangkat menjadi Nabi), yang memiliki sifat jujur, amanah dan berakhlak mulia, maka beliau meminta kepada Muhammad untuk menjualkan dagangannya bersama seorang pembantunya yang bernama Maisarah. Beliau memberikan barang dagangan kepada Muhammad melebihi dari apa yang dibawa oleh selainnya. Muhammad al-Amin pun menyetujuinya dan berangkatlah beliau bersama Maisarah dan Allah menjadikan perdagangannya tersebut menghasilkan laba yang banyak. Khadijah merasa gembira dengan hasil yang banyak tersebut karena usaha dari Muhammad, akan tetapi ketakjubannya terhadap kepribadian Muhammad lebih besar dan lebih mendalam dari semua itu. Maka mulailah muncul perasaan-perasaan aneh yang berbaur dibenaknya, yang belum pernah beliau rasakan sebelumnya. Pemuda ini tidak sebagamana kebanyakan laki-laki lain dan perasaan-perasaan yang lain.
Kepercayaan Diri seorang Wanita
Suatu kali Ummi Khadijah merasa pesimis; apa mungkin pemuda tersebut mau menikahinya, mengingat umurnya sudah renta, bayangkan 40 tahun? Apa kata orang-orang nantinya karena ia telah menutup pintu bagi para pemuka Quraisy yang melamarnya?
Maka disaat dia bingung dan gelisah karena problem yang menggelayuti pikirannya, tiba-tiba muncullah seorang temannya yang bernama Nafisah binti Munabbih, selanjutnya dia ikut duduk dan berdialog hingga kecerdikan Nafisah mampu menyibak rahasia yang disembuyikan oleh Khodijah tentang problem yang dihadapi dalam kehidupannya. Nafisah layaknya konselor mencoba membesarkan hati Khadijah dan menenangkan perasaannya dengan mengatakan bahwa Khadijah adalah seorang wanita yang memiliki martabat, keturunan orang terhormat, memiliki harta dan berparas cantik.Terbukti dengan banyaknya para pemuka Quraisy yang melamarnya.
Selanjutnya, tatkala Nafisah keluar dari rumah Khadijah, dia langsung menemui Muhammad al-Amin hingga terjadilah dialog yang menunjukan kelihaian dan kecerdikannya:
Nafisah : Apakah yang menghalangimu untuk menikah wahai Muhammad?
Muhammad : Aku tidak memiliki apa-apa untuk menikah .
Nafisah : (Dengan tersenyum berkata) Jika aku pilihkan untukmu seorang wanita yang kaya raya, cantik dan berkecukupan, maka apakah kamu mau menerimanya?
Muhammad : Siapa dia ?
Nafisah : (Dengan cepat dia menjawab) Dia adalah Khadijah binti Khuwailid
Muhammad : Jika dia setuju maka akupun setuju.
Nafisah pergi menemui Khadijah untuk menyampaikan kabar gembira tersebut, sedangkan Muhammad al-Amin memberitahukan kepada paman-paman beliau tentang keinginannya untuk menikahi sayyidah Khadijah. Kemudian berangkatlah Abu Tholib, Hamzah dan yang lain menemui paman Khadijah yang bernama Amru bin Asad untuk melamar Khadijah bagi putra saudaranya, dan selanjutnya menyerahkan mahar.
Maka jadilah Sayyidah Quraisy sebagai istri dari Muhammad al-Amin dan jadilah dirinya sebagai contoh yang paling utama dan paling baik dalam hal mencintai suami dan mengutamakan kepentingan suami dari pada kepentingan sendiri. Manakala Muhammad mengharapkan Zaid bin Haritsah, maka dihadiahkanlah oleh Khadijah kepada Muhammad. Demikian juga tatkala Muhammad ingin mengembil salah seorang dari putra pamannya, Abu Tholib, maka Khadijah menyediakan suatu ruangan bagi Ali bin Abi Tholib radhiallâhu 'anhu agar dia dapat mencontoh akhlak suaminya, Muhammad Shallallahu 'alaihi wasallam.
Di sinlah letak keberanian dan bentuk PD seorang wanita yang tidak harus dipusingkan dengan kecantikkan dan melulu ingin merasa muda secara fisik. Karena bagi Ummi segalanya adalah kedewasaan hati dan keikhlasan atas potensi diri yang membuatnya yakin bahwa Muhammad adalah pilihan terbaik dan mau meminangnya.
Sebuah Komitmen Teguh
Jika Sternberg memberi sinyal komitmen adalah bagian inti dari cinta sejati, namun tak ada orang selain Khadijah yang memberikan komitmen melebihi garis yang didefinisikan Sternberg. Suatu ketika Allah Ta'ala menjadikan Muhammad al-Amin ash-Shiddiq menyukai Khalwat (menyendiri), bahkan tiada suatu aktifitas yang lebih ia sukai dari pada menyendiri. Beliau menggunakan waktunya untuk beribadah kepada Allah di Gua Hira' sebulan penuh pada setiap tahunnya. Beliau tinggal didalamnya beberapa malam dengan bekal yang sedikit jauh dari perbuatan sia-sia yang dilakukan oleh orang-orang Makkah yakni menyembah berhala dan lain –lain.
Sayyidah ath-Thahirah tidak merasa tertekan dengan tindakan Muhammad yang terkadang harus berpisah jauh darinya, tidak pula beliau mengusir kegalauannya dengan banyak pertanyaan maupun mengobrol yang tidak berguna, bahkan beliau mencurahkan segala kemampuannya untuk membantu suaminya dengan cara menjaga dan menyelesaikan tugas yang harus dia kerjakan dirumah. Apabila dia melihat Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam pergi ke gua, kedua matanya senantiasa mengikuti suaminya terkasih dari jauh. Bahkan dia juga menyuruh orang-orang untuk menjaga beliau tanpa mengganggu suaminya yang sedang menyendiri.
Ketika Rasullullah mulai mendekam di Gua Hira dan mendapatkan wahyu yang membuat Rasululah ketakutan dengan minta untuk diselimutkan. Maka Istri yang dicintainya dan yang cerdas itu menghiburnya dengan percaya diri dan penuh keyakinan, berkatalah ia: "Allah akan menjaga kita wahai Abu Qasim, bergembiralah wahai putra pamanku dan teguhkanlah hatimu. Demi yang jiwaku ada ditangan-Nya, sugguh aku berharap agar anda menjadi Nabi bagi umat ini. Demi Allah, Dia tidak akan menghinakanmu selamanya, sesungguhnya anda telah menyambung silaturahmi, memikul beban orang yang memerlukan, memuliakan tamu dan menolong para pelaku kebenaran.
Maka menjadi tentramlah hati Nabi berkat dukungan ini dan kembalilah ketenangan beliau karena pembenaran dari istrinya dan keimanannya terhadap apa yang beliau bawa. Sebagai istri, khadijah tahu betul psikologis Rasulullah dan apa yang diinginkan sang suami jika mendalami situasi mencekam yaitu sifat menghibur dan memberi situasi nyaman.
Khadijah akhirnya merubah mindset gagi kita, jika istri tidak lantas menjadi redup jika sang suami mengalami kesulitan. Akan tetapi, situasinya harus melengkapi dan khadijah melalukan itu dengan terkesan menjadi “suami” bukan istri dalam definisi sempit. Inilah sebuah pencerdasan paradigma perempuan untuk bersama-sama kontrukstif dalam bingkai rumah tangga. Tdiak lantas surut ketika situasi sang suami ditimpa musibah. Karena suami bukanlah segala-galanya, ia juga makhluk lemah, bisa sakit, dan sewaktu-waktu bisa meninggalkan kita semua.

0 komentar:

Posting Komentar