7 KESALAHAN BESAR DALAM PENGELOLAAN KEUANGAN

Anda mungkin termasuk salah seorang yang suka bekerja keras untuk mendapatkan uang. Siang malam mencari uang. Kaki dipakai untuk kepala, kepala dipakai untuk kaki. Begitu istilahnya untuk menggambarkan betapa seseorang adalah pekerja keras. Anda tidak sendirian, karena banyak orang yang berjuang habis-habisan mengerahkan segala daya upaya untuk mendapatkan uang. Mereka fokus mencari uang sebanyak-banyaknya, tapi setelah uang diperoleh, mereka menggunakan ’semau gue’, sehingga habis begitu saja, entah kemana perginya uang itu. Tapi, mungkin juga anda adalah orang yang kurang peduli dengan jumlah penghasilan yang anda terima meski jumlahnya relatif kecil tetapi anda lebih fokus mengelola uang dengan sebaik-baiknya agar tidak defisit, dan berjuang mati-matian agar bisa menabung sehingga terkesan pelit.
Apapun golongan anda, kedua golongan tersebut berada dalam kondisi ekstrim ‘kanan’ dan ekstrim ‘kiri’. Sebab, dalam pengelolaan keuangan yang baik, sebaiknya seseorang dalam mengelola dengan menyeimbangkan pengelolaan antara penerimaan dan pengeluaran. Berkenaan dengan hal itu, pada pembahasan kali ini kita akan mengulas beberapa kesalahan yang sering dilakukan orang dalam mengelola uangnya, sehingga membuat uang ‘mandul’ tidak beranak, bahkan ‘mati’ alias bangkrut.

Kesalahan Pertama, Mengandalkan Suatu Hari Nanti
Masih ingat cerita Nabi Nuh dan umatnya? Nabi Nuh berulang kali mengajak umat dan anaknya untuk bersiap-siap menghadapi masa depan yang tidak menentu karena akan ada banjir besar. Namun umat bahkan anaknya sendiri tidak mempercayai. Karena apa yang dikatakan dan dilakukan Nabi Nuh saat itu memang terasa aneh, membangun kapal ketika musim kemarau. Demikian juga, kesalahan pada kebanyakan orang dalam mengelola keuangan karena mereka mengandalkan suatu hari nanti. Mereka berpikir ‘biarlah bagaimana nanti saja” dan tidak mempersiapkan keuangan masa depan. Akibatnya mereka selalu berorientasi jangka pendek dalam setiap gerak langkahnya.
Kerugian yang akan timbul akibat sikap “Mengandalkan Suatu Hari Nanti” diantaranya adalah kerugian materi. Bila dihitung secara materi, semakin terlambat mempersiapkan tujuan keuangan, semakin besar kerugian yang akan diterima. Sebagai contoh, ada dua orang, sebut saja Pak Lelet dan Pak Giat. Pak Lelet selalu menunda-nunda menabung, karena berpikir ‘ntar aja’. Pak Giat rajin menabung di bank setiap tahun Rp15.000.000,- selama 5 tahun berturutturut atau sebesar Rp75.000.000,-. Dengan asumsi bagi hasil investasi (bunga) rata-rata 13 persen per tahun, maka pada tahun ke20 uang Pak Giat sudah menjadi Rp686.972.729,-. Sedangkan Pak Lelet baru memulai pada tahun ke-6 sejak Pak Giat menabung. Hasilnya sangat jauh berbeda. Uang Pak Lelet hanya menjadi Rp685.076.022,- padahal uang yang ditabungkan selama 15 tahun sebesar Rp225.000.000,- Perhitungannya menggunakan rumus FV = Po ( 1 + r )t. Jadi, semakin lama menunda-nunda untuk menabung, semakin besar kerugian materi yang harus ditanggung.
Kerugian lainnya, rencana masa depan akan kacau, sementara waktu tidak dapat diputar ulang. Kita akan menyesal!. Waktu adalah modal penting dalam hidup ini. Bila kita tidak dapat memanfaatkan dengan baik, berarti kita mengabaikan modal yang sangat berharga dalam hidup ini. Alloh memberikan modal yang sama kepada kita berupa waktu 24 jam sehari. Orang sukses atau kaya bukan berarti memiliki waktu 100 jam sehari, tetapi mereka lebih pandai memanfaatkan waktu.

Kesalahan Kedua, Tidak Sedia ‘Payung’ Sebelum ‘Hujan’
Krisis ekonomi yang menimpa negara kita pertengahan 1997 lalu telah membuat ratusan ribu bahkan jutaan pekerja di PHK, termasuk ribuan pengusaha bangkrut. Apakah mereka siap dengan keadaan tersebut? Coba ingat-ingat keluarga, teman, tetangga atau bahkan Anda sendiri yang di PHK, seberapa siap menerima keadaan itu? Saya yakin banyak yang tidak siap, bahkan banyak yang stress menghadapi kenyataan itu. Mengapa hal itu bisa terjadi? karena tidak ada persiapan atau antisipasi. Ketika seseorang sudah menemukan kenyamanan (comfort zone) dalam pekerjaan atau bisnisnya, mereka lalai mengantisipasi risiko PHK atau bangkrut. Mereka lupa bahwa ada hal yang sangat pasti dalam hidup ini, yaitu perubahan. Untuk itu diperlukan persiapan-persiapan menghadapi masa depan yang tidak pasti (perubahan) tersebut.

Kesalahan Ketiga, Mendahulukan Simbol Kemapanan
Fitrah manusia memang cenderung untuk hidup bermewah-mewahan. Bahkan tidak jarang orang melakukan apa pun untuk meraih kemewahan itu. Kecenderungan manusia juga ingin menunjukkan simbol-simbol kemapanan, status tertentu atau gengsi, meski secara finansial belum mampu.
Perilaku manusia dalam mengelola keuangannya dapat digolongkan menjadi tiga kategori yaitu boros, pelit, dan sederhana. Orang yang boros, menghabiskan uangnya untuk membeli barang-barang hedonis. Baginya hidup harus ‘dinikmati’, dengan persepsi yang salah. Mereka merasa kaya, meski sebetulnya belum kaya. Mereka lupa bahwa menikmati hidup tidak identik dengan bermewah-mewahan. Mereka juga lupa bahwa menikmati hidup bukan berarti menghabiskan uang untuk kepentingan pribadi saja tanpa memedulikan kehidupan orang lain.
Golongan kedua adalah orang yang sangat pelit, sampai tidak dapat menikmati hartanya. Justru yang menikmati adalah orang lain karena dia mati tidak membawa hartanya. Lalu ada pertanyaan, mengapa mereka bersusah-payah mengumpul-ngumpulkan harta bila tidak dinikmati? Lalu bagaimana kita seharusnya?
Idealnya kita berada dalam golongan ketiga yaitu hidup sederhana sesuai kemampuan finansial. Hidup sederhana bukan berarti tidak menikmati hidup ini dengan uang yang kita miliki. Kita boleh membeli mobil mewah, rumah mewah, atau keliling dunia asalkan semua itu masih dibawah kemampuan finansial kita. Contoh sederhananya demikian. Bila Anda memiliki penghasilan setiap bulan dua ratus juta rupiah dan punya uang tunai sepuluh milyar, maka punya rumah seharga 3 milyar, mobil seharga lima ratus juta dan setiap tahun keliling dunia, itu sah-sah saja. Tapi sebaliknya, bila dengan kekayaan sebesar itu, Anda hanya punya mobil ‘butut’ yang suka ngadat (mogok), makan tahu tempe setiap hari, dan bekerja terus-menerus tanpa rekreasi memadai, Anda termasuk orang pelit. Anda mungkin juga termasuk orang yang mendewa-dewakan uang. Hidup seperti ini pun tidak dibenarkan. Jadi wajar atau tidak, semuanya dikembalikan pada hati nurani, kelaziman, serta kemampuan finansial anda.

Kesalahan Keempat, Bertindak Ekstrim Dalam Kebijakan Finansial
Salah satu sikap manusia yang sering menimbulkan masalah dikemudian hari adalah serakah (geedy). Dengan sikap ini, manusia tidak hanya ingin cepat kaya, ingin cepat naik pangkat/jabatan atau keinginan lain yang serba cepat (instant). Tidak ada salah orang ingin cepat meraih sesuatu asalkan tetap memperhatikan rambu-rambu atau moral yang berlaku. Salah satunya adalah kita tidak boleh melakukan sesuatu dengan cara-cara ekstrim dengan harapan segera mendapatkan sesuatu dengan cepat. Misalnya, kita boleh berhutang, asalkan memperhatikan kaidah hutang yang benar. Demikian juga dalam berinvestasi, meski tujuannya baik, jika tidak dilakukan secara bijaksana malah menyebabkan kerugian. Pun demikian, berasuransi dengan tujuan melindungi keuangan dan masa depan, bisa berubah menjadi masalah apabila tidak tahu caranya dan bertindak berlebihan.

Kesalahan Kelima, Tidak Memanfaatkan Daya Ungkit Finansial
Ada orang merasa harus bekerja sendirian dalam meraih tujuan yang diinginkan, termasuk dalam meraih kekayaan dan keberkahan finansial. Akibatnya, tujuan itu sangat lambat diraihnya, bahkan sulit diraih sedirian. Disinilah perlu memanfaatkan daya ungkit finansial, sebagaimana yang sudah pernah kita bahas sebelumnya.

Kesalahan Keenam, Mengabaikan Kesehatan Demi Uang
Kebanyakan orang mengejar uang dengan mengabaikan kesehatannya. Mereka lupa kalau uang banyak tidak bisa membeli kesehatan, karena uang hanya bisa membayar dokter atau rumah sakit. Oleh karena itu menjaga kesehatan itu tetap penting dalam mencari uang dan jangan sampai kesehatan dikorbankan demi uang. Maka olah raga, makan bergizi secara teratur, tidur dan istirahat cukup harus menjadi bagian terpenting dalam perencanaan keuangan. Tidak bisa diabaikan!
Kita sering menyaksikan orang-orang kaya menderita berbagai penyakit berat. Mungkin hal itu karena kesalahan, ‘Mengabaikan Kesehatan demi Mengejar Uang’ atau karena pola makan berlebihan. Akibatnya, seringkali kali otak bawah sadar kita mengatakan, “Ah lebih baik seperti ini saja, daripada kayak si Rudi, punya uang banyak tapi tidak bisa menikmati uangnya karena sakit-sakitan, tidak boleh makan ‘ini-itu’. Makanannya dibatasi”. Nah, ketika hal ini terjadi, kita menjadikan realitas itu untuk malas bekerja keras atau tidak berusaha meraih kekayaan. Sebenarnya tidak ada hubungan yang signifikan antara orang kaya dengan penyakit yang dideritanya. Permasalahannya hanya karena mereka lupa menjaga keseimbangan hidup. Bila keseimbangan hidup tidak dijaga, maka pada suatu kondisi tertentu kita akan merasa, uang berapa pun yang kita peroleh tidak akan ada gunanya.

Kesalahan Ketujuh, Kekacauan Strategi Pensiun
Pada bulan November 2004 lalu, sekitar 4.5 juta pelamar Pegawai Negeri Sipil (PNS) berjubel di berbagai daerah. Para pelamar kerja itu memperebutkan lowongan pekerjaan yang hanya tersedia 200 ribu orang. Apa yang mendorong mereka sehingga rela mengadu nasib sebagai PNS? Jawabannya simpel, mereka hanya ingin mendapatkan pensiun. Mereka berharap hidup makmur setelah pensiun!. Itulah alasan utamanya. Akankah harapan itu menjadi kenyataan? Mari kita simak analisis berikut ini.
Lembaga pensiun yang selama ini diharapkan ‘menjamin’ pembayaran uang pensiun Pegawai Negeri Sipil (PNS), saat ini mulai diragukan kemampuannya. Perhatikan sistem pembayaran pensiun PNS. Sejak Januari 2003, sebanyak 79 persen dana pensiun mereka diambil dari APBN dan 21 persen dari PT.Taspen. Jika sistem ini diteruskan, maka pada tahun 2014 aset PT. Taspen akan habis, sehingga kemungkinan besar sebagian gaji pensiunan PNS tidak lagi terbayar.
Selain itu. untuk bisa hidup sejahtera di masa pensiun, seseorang tidak bisa hanya bergantung pada program pensiun, karena program pensiun hanya memberikan kontribusi pendapatan yang kecil. Berbagai penelitian membuktikan bahwa 80 persen kecukupan sumber tabungan pensiun sangat ditentukan oleh program individu masing masing dan sisanya sebesar 5 persen berasal dari bantuan pemerintah dan 15 persen dari program perusahaan. Jadi, sejahtera atau tidak seseorang pada masa pensiun.
sangatsangat tergantung pada masing-masing individu.
Oleh karena itu, alangkah bijaksananya bila mulai sekarang tidak lagi mengandalkan jaminan pensiun seperti itu. Banyak cara untuk menggantikan program pensiun yang dapat dilakukan sendiri.
(Safak Muhammad, Majalah Nurul Hayat)

0 komentar:

Posting Komentar