Mencari Uang atau Membangun Kekayaan


Tidak semua orang memiliki kesamaan pandangan terhadap uang maupun kekayaan. Ada golongan orang yang berpendapat bahwa kekayaan identik dengan uang yang berlimpah. Karena itu, uang harus dikumpulkan sebanyak-banyaknya untuk menjamin hidupnya. Pada golongan ini, uang seolah menjadi tujuan hidup karena mereka yakin semakin banyak uang, semakin aman hidupnya. Akibatnya, mereka tidak pernah merasa cukup dengan uang yang diperolehnya.

Ada pula golongan orang yang berpandangan bahwa kekayaan tidak identik dengan uang dan materi semata, tapi juga terkait dengan kekayaan hati yang selalu bersyukur dan memahami hakikat uang secara benar. Uang adalah sarana hidup. Uang bukanlah segala-galanya yang bisa menjamin keamanan hidup karena yang lebih penting dari uang adalah kemampuan seseorang mendapatkan uang. Kemampuan mencari dan mengelola uang, menurut golongan kedua ini lebih penting karena uang sewaktu-waktu bisa habis sementara kemampuan mencari uang tidak akan pernah lapuk. Anda mungkin sering menyaksikan betapa banyak pewaris harta yang berlimpah, kemudian harus jatuh miskin karena anak-anak orang kaya ini tidak memiliki kemampuan mencari dan mengelola uang. Mereka sudah terbiasa dimanjakan orang tuanya dengan hidup serba berkecukupan sehingga lupa belajar tentang hakikat uang dan kekayaan. Menurut Roger Hamilton, kekayaan bukanlah soal seberapa banyak uang yang kita miliki. Kekayaan adalah apa yang masih kita miliki bila kita telah kehilangan semua uang kita. Dengan demikian, pendapat Hamilton ini bisa ditafsirkan bahwa kekayaan identik dengan ilmu pengetahuan, kejujuran, networking atau kekayaan immaterial lainnya yang bisa mempermudah  kita mendapatkan uang.
Untuk memudahkan memahami perbedaan antara mencari uang semata dan membangun kekayaan, saya akan memberikan contoh atau metafora kupu-kupu dan taman kupu-kupu. Apa yang diinginkan seseorang dalam memiliki kupu-kupu salah satunya adalah karena keindahannya (sebagai salah satu manfaatnya). Begitu pula dengan menginginkan uang, sesungguhnya yang diharapkan seseorang dari uang adalah manfaat dari uang itu, bukan sekedar menumpuk-numpuk uang dengan tidak memaksimalkan untuk kepentingan dunia akhirat.
Mencari kupu-kupu disini saya maksudkan sebagai mencari uang dan taman sebagai ladang kekayaan. Sekarang pertanyaannya, “Bila seandainya anda senang dengan kupu-kupu, anda akan memilih menangkap kupu-kupu sebanyak-banyaknya kemudian memelihara kupu-kupu itu dalam sangkar, ataukah anda akan membangun taman kupu-kupu dengan menanam berbagai bunga sehingga mengundang kupu-kupu ke taman anda?”
Mari kita perhatikan, betapa banyak orang selama ini salah kaprah dalam membangun kekayaan. Banyak orang yang berkeyakinan bahwa membangun kekayaan adalah bagaimana mencari uang sebanyak-banyaknya, atau saya ibaratkan mencari kupu-kupu sebanyak-banyaknya. Mereka menangkap satu per satu kupu-kupu, kemudian memeliharanya di dalam sangkar. Setiap hari mengejar, menangkap, dan memeliharanya. Begitu seterusnya. Dalam usaha menangkap dan memelihara kupu-kupu itu, mereka seringkali kecewa karena tidak mendapatkan kupu-kupu atau kecewa karena kupu-kupu yang sudah tertangkap terbang lagi. Inilah realita kehidupan. Banyak orang yang bekerja keras siang malam mencari uang, mengumpulkan rupiah demi rupiah. Ada yang berhasil mendapatkan uang banyak, tapi tidak sedikit yang gagal. Atau sudah mendapatkan uang banyak, tapi uangnya habis karena sesuatu kejadian di luar perkiraan dirinya. Kondisi ini kemudian menjadi sumber kekhawatiran banyak orang kaya, karena semakin kaya seseorang, semakin khawatir akan kehilangan uangnya. Ini pula yang disebut sebagai paradok kekayaan.
Sekarang bandingkan kalau seseorang yang giat membangun taman untuk mendatangkan kupu-kupu. Mereka akan sibuk mengolah dan menanami lahan dengan tanaman yang indah sehingga menarik kupu-kupu datang dan berterbangan di atas taman. Mereka menikmati kupu-kupu yang indah di taman tanpa khawatir kupu-kupu itu pergi dari tamannya. Mereka tidak sibuk menangkap kupu-kupu tapi mereka hanya mengola dan menjaga taman agar tetap indah. Dengan cara seperti ini, siapapun dapat mendatangkan ribuan kupu-kupu yang indah dan memesona.
Sesungguhnya, membangun kekayaan itu ibarat membangun taman. Benihnya adalah bakat dan minat yang kita miliki, sedangkan airnya adalah ilmu pengetahuan dan jaringan (networking). Pupuknya adalah karakter kejujuran dan keikhlasan. Sedangkan mataharinya, yang berfungsi mempercepat pertumbuhan taman adalah kreativitas dan pemasaran. Sebab tanpa kreativitas, tidak akan menghasilkan karya bermutu. Tanpa ilmu pemasaran, produk sebagus apa pun tidak akan dikenal dan tidak akan dibeli masyarakat. Komponen lain dalam membuat taman adalah tanah, yang dalam hal ini terbuat dari investasi pengabdian dan kerja keras. Itulah kekayaan yang sesungguhnya. Orang yang kaya adalah orang-orang yang telah memberikan karya terbaiknya bagi masyarakat. Orang-orang kaya yang sesungguhnya adalah orang yang karyanya bermanfaat bagi masyarakat. Mereka lebih mengutamakan membangun taman kekayaan, daripada sekedar mencari dan mengumpulkan uang semata. Sekedar mencari uang tidak salah, karena ini hanya bisa dilakukan dalam jangka pendek. Tapi bila ini dilakukan terus menerus tanpa membangun kekayaan (atau membangun taman kekayaan), maka dalam jangka panjang hasilnya tidak optimal, menimbulkan kekhawatiran yang berlebihan. Takut akan kehilangan uang dan harta yang telah diraih sehingga bersifat bakhil.
Karena itu, mari membangun taman kekayaan dengan meningkatkan kemampuan kita dalam mencari dan mengelola uang. Apabila kita memiliki taman ilmu dan pengetahuan yang luas kemudian kita praktekkan dengan dedikasi tinggi penuh kejujuran dan keikhlasan, maka kita akan mendapatkan uang dengan sendirinya. Ibarat taman, pada akhirnya kita akan dikerumuni kupu-kupu yang dalam hal ini adalah uang akan datang kepada kita. Uang akan ‘mengejar’ kita karena orang lain akan membutuhkan keahlian, produk, atau bahkan senang berbisnis dengan kita. Sebagai contoh sederhana, kalau ada seorang dokter yang sangat ahli, tentu dicari pasien untuk berobat. Kalau anda ahli membuat makanan maknyus (enak sekali), maka kalau anda jual tentu akan laku, dan sebagainya.
Sebagaimana Charles Albert Poissant dkk dalam buku How To Think Like A Millionaire berpendapat bahwa uang yang diraih secara jujur hanyalah pengakuan atas jasa-jasa yang diberikan. Jadi, seorang kaya adalah seseorang yang telah memberikan jasa-jasanya kepada banyak orang dan telah diimbali secara adil karenanya.
Oleh karena itu, tidak ada pilihan bagi kita kecuali membangun taman kekayaan daripada hanya sekedar mencari uang. Sebab sifat uang itu sementara, cepat habis dan belum tentu berkembang kalau tidak bisa mengelolanya. Sedangkan sifat kekayaan adalah permanen, bertambah dan berkembang. Dengan membangun kekayaan, khususnya kekayaan ilmu pengetahuan bagaimana mendapatkan dan mengelola keuangan, maka kita tidak akan pernah takut akan kehilangan uang yang kita miliki, dan kita bisa lebih memahami hakikat uang.
Agar kekayaan dapat terealisasi, menurut Charles Albert Poissant dkk (2004), paling tidak ada tiga persyaratan awal yang harus dipenuhi untuk membangun kekayaan yaitu (1) percaya bahwa kita akan kaya (2) sadar bahwa situasi kita tidak akan otomatis berubah kalau kita tidak berbuat apa-apa tentang itu (3) dengan penuh gairah menghasratkan peningkatan dan pembelajaran secara terus menerus dalam kehidupan kita.
www.nurulhayat.org
READ MORE - Mencari Uang atau Membangun Kekayaan

Investasi Emas untuk Menjaga Kekayaan


Banyak orang yang mempercayai bahwa emas adalah sebuah produk investasi yang bisa menangkal inflasi. Banyak pula orang yang percaya bahwa emas bukanlah suatu benda yang berfungsi sebagai alat untuk menggelembungkan kekayaan, akan tetapi emas lebih berfungsi untuk mempertahankan kekayaan (dari rongrongan inflasi). Hal ini disebabkan karena jika dilihat dari perjalanan sejarah sudah terbukti bahwasanya emas seringkali diborong oleh masyarakat apabila terjadi kepanikan ekonomi, seperti inflasi tinggi, krisis keuangan, atau kekacauan politik di sebuah negara.

Inflasi merupakan kenaikan harga barang dan jasa secara umum. Jika terjadi inflasi yang tinggi itu artinya uang anda bisa terus tergerogoti. Lalu pertanyaannya adalah bagaimana hal itu bisa terjadi? Metode kerjanya seperti apa? Anda bisa melihat ilustrasi berikut :
Suatu waktu misalnya terjadi laju inflasi sebesar10 persen/tahun, hal ini dapat diartikan bahwa jika harga suatu barang dan jasa pada saat itu nilainya sebesar Rp 10 juta maka nilai barang tersebut akan menjadi Rp 11 juta pada tahun berikutnya dan seterusnya neik sebesar 10 persennya. Dan harga ini akan semakin meningkat setiap tahunnya.
Oleh karena itu bila saat ini anda memiliki uang sebesar Rp100 juta dan anda depositokan dengan bunga deposito 9% per tahun misalntya, maka sesungguhnya uang anda nyata-nyata tidak berkembang. Kenapa?
Karena daya beli uang anda justru berkurang karena nilai inflasi mencapai 10% yang artinya lebih besar dibandingkan dengan bunga deposito yang hanya 9%. Oleh karena itu memang seharusnya ada sebuah metode untuk melindungi aset anda dari inflasi tersebut. Salah satu di antaranya bisa dilakukan dengan berinvestasi melalui emas. Dengan investasi berupa emas ini, maka nilai kekayaan anda akan tetap aman. Gambarannya sebagai berikut.
Misalnya pada saat ini anda memiliki uang sebesar Rp100 juta. Dengan uang sebanyak itu ternyata anda sudah bisa membeli rumah dengan spesifikasi luas bangunan sebesar 100 m2. Nah, bila uang tersebut anda depositokan atau anda simpan di rekening bank, lalu uang itu kita endapkan selama 10 tahun yang akan datang, apakah uang itu masih bisa digunakan untuk membeli rumah sejenis dengan spesifikasi luas 100 m2? Tentu saja tidak bisa.
Akan tetapi kalau saat ini uang yang jumlahnya sebesar Rp 100 juta itu anda belikan emas, kemudian nanti pada tahun ke-10 yang akan datang emas itu anda jual kembali, anda masih dimungkinkan untuk tetap bisa membeli rumah sejenis dengan luas 100 m2 tadi. Inilah yang dimaksudkan dengan menjaga kekayaan seperti yang disebutkan di awal tadi.
Anda mungkin masih ingat pada saat terjadinya kerusuhan pada bulan Mei 1998 yang lalu. Pada saat itu terjadi rush kebutuhan pokok di pasar swalayan pada tanggal 8 Januari 1998 (pagi hari sebelum pengumuman APBN oleh Presiden Suharto di hadapan DPR), sehingga harga emas juga langsung melonjak. Bahkan, hanya dalam selang satu atau dua hari saja, harga emas langsung terdongkrak naik kurang lebih sebanyak 1,5 kali. Walaupun secara fluktuatif, harga emas saat itu cenderung naik – meski pada akhirnya turun lagi ketika inflasi kembali berada di bawah dua digit.
Jadi dapat disimpulkan bila angka inflasi relatif tinggi maka dapat diprediksi bahwa harga emas cenderung akan naik lebih tinggi dari pada inflasi. Inilah sebab mengapa anda sebaiknya juga mempertimbangkan untuk berinvestasi dalam bentuk emas. Tetapi perlu juga diketahui bahwa harga emas akan cenderung konstan bila laju inflasi rendah, bahkan cenderung sedikit menurun apabila laju inflasi kisarannya di bawah angka dua digit.
Untuk investasi emas syaratnya anda harus memperbanyak pengetahuan tentang emas. Anda tidak boleh sekedar ikut-ikutan saja karena hal itu justru akan merugikan anda sendiri. Sebagai alat investasi, emas tersedia dalam beberapa pilihan, diantaranya yang familier di masyarakat kita adalah emas perhiasan dan emas batangan. Namun belakangan ini juga mulai berkembang pilihan berupa koin emas.
Untuk investasi emas jangka pendek, kalau anda membeli emas perhiasan, anda akan sulit mendapatkan keuntungan. Hal ini karena pada emas emas perhiasan, dalam penentuan harga jual-belinya selalu ditambah dengan ongkos pembuatan. Karena itu, kalau suatu saat Anda menjualnya kembali, maka toko tempat anda membeli emas, tidak mau membayar ongkos pembuatan dari perhiasan emas tersebut. Ia hanya akan membayar harga emasnya saja. Lagi pula, biasanya untuk emas perhiasan, jual-belinya biasanya harus pada toko yang sama.
Kalau anda menjual di toko lain, biasanya toko tersebut tidak mau membeli kembali. Kalau pun mau membeli, tapi dengan harga yang dapat dipastikan jauh lebih rendah dibandingkan harga di pasaran. Karena itu, investasi dalam bentuk emas perhiasan jauh lebih untung kalau disimpan untuk jangka panjang. Karena biasanya harga emas Anda sudah naik jauh dibanding ketika Anda membelinya.
Umumnya di pasaran, emas untuk perhiasan tersedia dalam berbagai macam karat, antara 18 - 24 karat. Untuk investasi, sebaiknya Anda memilih emas perhiasan 24 karat. Ini karena emas perhiasan Anda lebih mudah dijual kembali.
Investasi emas yang baik adalah investasi emas dalam bentuk batangan (emas logam mulia) karena emas model seperti ini cukup mudah dijual kembali. Selain itu, untuk emas batangan tidak dikenakan biaya tambahan (ongkos) pembuatan seperti emas perhiasan. Oleh karena itu, tidak ada salahnya Anda mempertimbangkan investasi ke dalam emas batangan.
Emas batangan ini dapat anda peroleh di perusahaan Aneka Tambang (Antam) yang berkantor di Pulogadung, ataupun Pegadaian setempat.
Selain itu ada juga investasi emas dengan Koin Emas ONH (ongkos naik haji). Investasi Koin Emas ONH ini dimaksudkan sebagai alternatif investasi bagi mereka yang ingin menabung untuk biaya ibadah Haji. Meskipun demikian, pada kenyataannya, investasi ini ternyata sama saja dengan investasi emas jenis lainnya karena harga emasnya sama saja.
Harganya sama dengan harga emas yang mengikuti harga mata uang asing (dolar AS), dan aman terhadap laju inflasi. Siapa pun bisa berinvestasi dalam Koin Emas ONH ini, termasuk non muslim karena investasi ini sama saja dengan investasi emas lainnya. Koin Emas ONH dapat dibeli dan dapat dijual kembali di cabang-cabang PT Pegadaian di seluruh Indonesia, toko emas, dan unit pengolahan dan pemurnian logam mulia PT Aneka Tambang Tbk. Ukuran emas ini mulai dari berat 1, 5, dan 10 gram.
Menyimpan Emas atau Menggadaikan Emas?
Kalau jumlahnya tak seberapa, emas bisa disimpan di rumah. Namun kalau jumlahnya agak banyak, Anda bisa menyewa safe deposit box (SDB) di bank. Hampir setiap cabang bank di berbagai kota menyediakan layanan tersebut dengan tarif sekitar 400 ribu sampai 1 juta untuk ukuran small-medium.
Namun demikian, ada yang berpendapat, daripada emas disimpan di SDB, lebih baik di gadaikan, dan uang dari gadai dibelikan emas lagi. Dalam sistem gadai, nasabah hanya dikenakan biaya penyimpanan yang besarnya Rp2.500,-/grm per bulan. Jadi kalau anda menyimpan 25 gram, maka biayanya Rp750 ribu, dan anda masih mendapatkan uang gadai (maksimal 80% dari harga taksiran bank/pegadaian) untuk membeli emas lagi. Dengan cara ini, bila harga emas naik pada bulan ke dua belas (setahun) maka anda mendapatkan keuntungan lebih.
Demikian, semoga bermanfaat
Safak Muhammad (www.nurulhayat.org)
READ MORE - Investasi Emas untuk Menjaga Kekayaan

POS PENGELUARAN UNTUK BERBAGI


Suatu hari, selepas sholat jum’at seorang teman mengatakan kepada saya, “Mas, anda tadi lihat kan? Beberapa orang masukin uang ke kotak amal dengan uang receh yang jumlahnya cuma Rp.500? Heran, orang mau masuk surga kok nyumbang ke mesjid hanya Rp.500,- Emangnya surga harganya hanya semurah itu?”

Mendengar omongan itu, saya balik bertanya, “Emangnya anda tahu, kalau mereka itu hanya nyumbang ke mesjid Rp.500?”
“Mungkin aja, lha yang saya lihat mereka pegang uang koin, terus begitu uangnya dimasukkan, kotak amalnya berbunyi.” jawabnya cepat. Kemudian teman saya ini menambahkan, “Bayangkan saja, berapa nilai investasi akhirat kita (sedekah) bila kita hanya memasukkan uang receh Rp.500,- atau Rp. 1000,- per hari Jumat?
Kalau rata-rata hari Jumat ada 4 kali dalam sebulan atau 48 kali dalam setahun, maka dengan asumsi Rp.1000,- per Jumat maka kita hanya mengumpulkan uang investasi akhirat Rp. 48.000,- per tahun. Apakah uang ini cukup ‘membeli’ surga? Bukankah uang sebesar ini hanya cukup untuk membeli kaos oblong?”
Kalau asumsi lamanya kita hidup di dunia ini sekitar 60-70 tahun atau taruhlah kita ambil rata-ratanya saja yaitu sekitar 65 tahun, maka hitungan besarnya investasi untuk kehidupan akhirat kita hanya sebesar 48.000 x 65 = Rp. 3.120.000. Uang sebesar itu tidak lebih besar dari harga tiket pesawat Surabaya-Jakarta PP. Anda dapat bayangkan, hanya sebesar itukah investasi kita untuk perjalanan dan kehidupan kita ke akhirat kelak? Bayangkan, itu investasi akhirat kita seumur hidup loh…
Memang tidak dapat dipungkiri bahwa sebagian besar dari saudara-saudara kita, memberikan uang amal ‘ala kadarnya’ saja. Dengan alasan yang lebih penting adalah keikhlasannya. Maka untuk sedekah tidak harus besar. Karena itu, kita juga sering mendengar ungkapan, “daripada sedekah besar tidak ikhlas, lebih baik sedikit tapi ikhlas”. Ungkapan ini tentu saja tidak salah namun juga tidak sepenuhnya benar.
Kenapa ungkapan itu tidak kita dibalik saja sehingga menjadi, “lebih baik sedekah besar dengan ikhlas, daripada sedekah kecil walaupun juga ikhlas?”
Memang banyak sekali faktor yang menyebabkan kondisi seperti diatas tadi bisa terjadi. Diantaranya adalah karena faktor pemahaman kita yang masih rendah terhadap manfaat sedekah (berbagi). Atau terkadang hal itu disebabkan karena kita seringkali tidak berpikir untuk kehidupan kita di ‘akhirat’ kelak.
Selain itu dalam pengelolaan keuangan konvensional seringkali kita lupa untuk membuat pos khusus berbagi (untuk bersedekah). Kita seringkali disibukkan oleh kegiatan merencanakan pengeluaran rutin kita seperti misalnya pengeluaran untuk kebutuhan pokok, sandang, biaya pendidikan, biaya kesehatan hingga biaya cadangan.
Padahal sesungguhnya kehidupan ini bukan hanya strict untuk hidup diri sendiri dan keluarga saja, akan tetapi bagaimana kita juga bisa berbagi dengan sesamanya. Selain itu, sebenarnya apa yang kita lakukan dan kita kerjakan di dunia ini adalah untuk mempersiapkan kehidupan kita yang kadarnya lebih abadi, di akhirat kelak. Persiapan di akhirat, tentu saja tidak cukup hanya dengan shalat, dan berbuat baik dengan sikap dan perilaku kita saja. Akan tetapi kita juga harus “membeli” akhirat dengan harta yang kita miliki.
Ibaratnya kalau untuk membangun rumah tinggal di dunia saja kita membutuhkan uang dan tabungan, maka untuk mendapatkan rumah tinggal di surga tentunya juga perlu uang dan investasi yang juga besar. Alangkah bodohnya bila ternyata kita tidak mampu membangun rumah di akhirat, sementara kita hanya sibuk mengurus keperluan dunia saja. Selain itu, hal ini juga sesuai dengan perintah shalat yang selalu diikuti dengan perintah zakat (Aqimish-shalat, waatuzzakat) yang dalam Al Qur’an sampai diulang-ulang tidak kurang sampai 32 ayat.
Karena itu, seharusnya dalam proses pengelolaan keuangan, kita harus membuat perencanaan dengan menyisihkan prosentase tertentu setiap bulannya untuk investasi akhirat. Dengan membuat perencanaan dan menyisihkan sebagian uang kita untuk berbagi setiap bulan, maka kita tidak lagi ‘asal-asalan’ dalam beramal. Karena ada target penyisihan uang untuk berbagi, dan kegiatan ini dapat kita jadikan sebagai kebiasaan/rutinitas.
Jika kita telah merencanakan untuk membuat pos pengeluaran untuk berbagi dalam setiap bulannya, lalu pertanyaan berikutnya adalah berapa seharusnya target uang yang harus disisihkan untuk berbagi (sedekah)? Memang untuk ini tidak ada patokan yang baku. Besar kecilnya uang untuk sedekah tentu sangat tergantung pada tingkat kesadaran masing-masing orang.
Semakin seseorang menyadari betapa pentingnya sedekah, maka pastinya akan semakin besar uang yang ia sisisihkan untuk bersedekah. Orang yang demikian ini biasanya menyadari bahwa memberi dan beramal dengan cara berbagi kepada sesamanya adalah sangat bermanfaat bagi dirinya sendiri. Baik untuk kehidupan di akhirat nanti maupun untuk mempermudah urusan-urusan di dunia seperti menolak bala, meningkatkan kekayaan dan kebarokahan atas harta yang kita miliki di dunia ataupun manfaat-manfaat lainnya.
Besarnya pos pengeluaran untuk berbagi (sedekah) ini, harus ditetapkan di luar kewajiban kita dalam menunaikan zakat. Dengan demikian, kalau misalnya kewajiban zakatnya 2,5% (bagi gaji pegawai), maka pos sebaiknya pengeluaran untuk berbagi harus lebih besar dari itu, misalnya 5%, 10% atau 20% dari penghasilan bulanan.
Sebagai contoh, bila penghasilan anda sebulan sebesar Rp. 5.000.000,- dan anda menetapkan pos untuk berbagi sebesar 5%, maka anda harus menyisihkan sebesar Rp. 250.000 ditambah untuk zakat Rp. 125.000 (total Rp. 375.000). Uang ini harus anda sisihkan saat anda menerima gaji bulanan. Kemudian uang Rp. 250.000 ini bisa anda gunakan untuk berbagi, misalnya memberikan sumbangan untuk membantu saudara-saudara kita yang sedang tertimpa musibah bencana alam, seperti gempa atau  banjir misalnya.  Dapat juga kita berikan untuk sumbangan kotak amal masjid, panti asuhan atau tempat beramal lain di manapun yang anda suka. Dengan cara ini maka kita tidak lagi memasukkan uang koin Rp.500,- ke kotak amal lagi karena sumbangan kita sudah jauh lebih besar jumlahnya.
Bila dengan cara ini ternyata masih membuat kita lupa untuk menyisihkan uang untuk berbagi, kita bisa bekerja sama dengan lembaga atau yayasan amal tertentu untuk melakukan kontrak sumbangan rutin kepada lembaga atau yayasan tersebut, dan kita bisa meminta pihak yayasan amal ini untuk menagih setiap bulannya. Banyak lembaga yang bersedia melakukan hal ini. Beberapa yayasan juga menyediakan paket berbagi seperti paket orang tua asuh dengan setoran rutin setiap bulannya, atau paket berbagi/amal lainnya.
Dengan cara ini, maka Insay Alloh kita tidak lagi ‘asal-asalan’ dalam beramal. Uang berbagi tidak lagi berdasarkan pada perasaan enak atau tidak enak, tetapi kegiatan ini sudah menjadi bagian terencana dari pengelolaan keuangan kita. Sehingga amalan kita menjadi lebih terarah dan lebih bermanfaat karena sudah terbentuk menjadi kebiasaan/rutinitas. Dengan cara ini pula, tentu saja dapat diartikan kita juga telah menyiapkan untuk kehidupan akhirat kita nanti dengan lebih baik.
Safak Muhammad (www.nurulhayat.org)
READ MORE - POS PENGELUARAN UNTUK BERBAGI

Mahalnya Harga Sebuah Gengsi


Anda mungkin pernah mendapatkan guyonan atau bahkan ledekan dari teman atau kolega anda. Guyonan yang mengarah pada olok-olok tentang sesuatu yang kita miliki atau barang-barang yang sehari-hari kita gunakan. Kira-kira guyonan yang bernada olok-olok itu ada yang seperti ini, “Handphone seperti itu kok masih dipake! Itu HP pantasnya kan hanya untuk memukul anjing.” kata mereka.

Atau ada juga yang bilang kepada anda, “Mobil butut kok masih dipakai sih? Anda itu kan seorang bos, masa pake mobil jaman pra sejarah begitu.” Dan mungkin masih banyak lagi guyonan-guyonan bernada ejekan seperti yang saya sebutkan di atas.
Semua olok-olok yang dilontarkan teman-teman anda itu memang pada intinya cuma sekedar bahan hiburan untuk membuat suasana lebih segar hingga Andapun mungkin bisa menanggapi dengan cuek guyonan itu. Semua guyonan itu mampu kita anggap layaknya angin lalu yang setelah bertiup dan kita dirasakan sedikit sapuannya yang lembut sebentar kemudian ia pergi tak memberikan bekas apapun di hati kita.
Tetapi ternyata pada kenyataannya tidak sedikit orang yang tidak ‘tahan’ dengan guyonan seperti itu. Hatinya merasakan perih dan perasaannya gundah gulana hingga mampu mengganggu siklus tidur lelapnya. Mereka terngiang-ngiang dan terpengaruh dengan guyonan itu sehingga kemudian tanpa petimbangan panjang lalu kalang kabut memborong barang-barang yang masih fresh maupun benda-benda terbaru hanya sekedar untuk memenuhi rasa gengsinya. Kalau ternyata anda memang memiliki cukup uang tentu saja anda tidak akan dihadapkan dengan permasalahan karena anda bisa saja langsung pergi ke toko dan membeli barang-barang tersebut.
Namun sesungguhnya, permasalahannya tidaklah kelihatan segampang dan sesederhana itu. Dalam prinsip pengelolaan keuangan yang benar, membeli sebuah barang seharusnya juga memperhatikan betul akan manfaat dari barang yang akan kita beli. Sebab salah satu dari tujuan membeli barang adalah membeli manfaat atas barang tersebut, bukan semata-mata membeli “benda”nya.
Tetapi seringkali kita melihat bahwa orang membeli barang namun barang yang dibeli tersebut ternyata tidak banyak manfaatnya. Sangat mungkin mereka membeli barang hanya karena faktor gengsi semata, hanya ikut-ikutan saja atau bisa juga hanya karena ingin dianggap sebagai orang kaya, ingin dianggap sebagai orang yang tampil gaya, orang yang selalu mengikuti tren dan perkembangan jaman dan sejenisnya.
Bila tujuan membeli produk atau jasa hanya sekedar untuk memenuhi kepuasan-kepuasan sesaat seperti itu, maka dapat kita katakan : Betapa mahalnya harga sebuah gengsi..!
Kalau seseorang membeli barang hanya dengan tujuan seperti itu, akibatnya dia akan melakukan cara atau jalan apa pun untuk memenuhinya. Dan justru di titik inilah, titik  kritis yang sangat membahayakan pengelolaan keuangan kita. Sebab tindakan ini hanya akan mengarahkan perilaku seseorang pada sifat konsumerisme yang berlebihan yang pada akhirnya tanpa kita sadari hal itu lambat laun akan semakin menambah beban keuangan kita, dan jika tidak segera disikapi secara bijaksana bisa berujung pada kebangkrutan. Yaitu kondisi dimana hutang menumpuk menggunung serta aset atau kekayaan yang melayang habis tak bersisa.
Jika kita lihat lebih cermat, saat sekarang ini godaan konsumerisme ada dimana-mana. Iklan bertebaran dimana–mana, iklan yang selalu membujuk kita dan anak-anak kita untuk mengikuti keinginan penjual atau pemasang iklan. Akibatnya, barang-barang yang seharusnya tidak mendesak untuk dibeli-pun, dengan adanya iklan dan dorongan hidup konsumerisme, barang tersebut menjadi sangat penting dimata kita. Sehingga kita merasa harus membutuhkan barang tersebut lalu melakukan aksi beli barang-barang yang sebenarnya tidak begitu penting tersebut.
Dalam teori perilaku konsumen, ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi keputusan seseorang untuk melakukan pembelian. Faktor-faktor itu antara lain pengaruh lingkungan seperti misalnya budaya, kelas sosial, pengaruh pribadi, keluarga dan situasi. Serta perbedaan individu seperti kepribadian, gaya hidup, demografi, motivasi, keterlibatan, pengetahuan dan sikap. Faktor-faktor inilah yang sangat mempengaruhi perilaku seseorang dalam membeli barang.
Adapun niat seseorang untuk membeli  barang bisa terjadi karena pembelian yang direncanakan atau karena pembelian yang tidak terencana (impuls buying). Pembelian akibat impuls buying inilah yang saat ini justru sering terjadi.
Banyak orang yang seringkali terdorong membeli barang tanpa melakukan pemikiran yang mendalam apakah barang yang dibeli tersebut akan memberikan manfaat untuknya atau tidak. Pembelian yang terjadi ternyata hanya disebabkan karena dorongan sesaat seperti misalnya melihat atau mendengar iklan, display (penataan produk) yang menarik, faktor ikut-ikutan karena orang lain memiliki barang yang sama dan lain sebagainya.
Menghadapi kondisi yang demikian itu, maka kita harus mampu menahan diri untuk tidak ikut-ikutan membeli barang-barang yang tidak perlu dan mampu membuat pos-pos pengeluaran prioritas. Menahan diri yang saya maksudkan di sini adalah mampu menunda kesenangan sesaat.
Prinsip menunda kesenangan sesaat itu bukan berarti tidak boleh bersenang–senang, bukan berarti kita tidak boleh membeli barang sesuai dengan keinginan, tetapi menunda kesenangan di sini kita maknai sebagai kemampuan untuk menahan diri dari mengejar kesenangan yang berlebihan.
Selain itu, kita harus mampu melakukan prioritas kebutuhan, dan bukan memprioritaskan keinginan. Antara kebutuhan dan keinginan itu berbeda. Kebutuhan adalah sesuatu yang harus dipenuhi, seperti kebutuhan akan makan, susu anak, biaya sekolah, investasi dan lainnya. Sedangkan keinginan atas suatu produk dan jasa tidak harus dipenuhi karena belum tentu merupakan kebutuhan yang harus dipenuhi.
Misalnya anda sudah memiliki handphone, ingin membeli blackberry yang saat ini sedang ngetrend. Padahal, sesungguhnya keinginan membeli blackberry itu hanya didasarkan pada pemenuhan kepuasan atas ‘rasa gengsi’ semata. Sebab bisa saja saat itu anda belum membutuhkan fitur-fitur yang ada di blackberry karena anda dalam kesehariannya hanya sekedar sms, menerima dan menelepon saja sehingga tidak membutuhkan fitur komplet yang ada pada blackberry tersebut.
Contoh lain dari keinginan yang tidak harus dipenuhi adalah keinginan untuk berganti mobil yang selalu baru, padahal manfaatnya tetap sama yakni sebagai alat transportasi. Keingingan membeli mobil terbaru itu mungkin karena anda ingin tampil gaya (gengsi), dan bukan karena alasan mendesak yang harus dipenuhi.
Berdasarkan penjelasan diatas, betapa kita menyaksikan bahwa harga sebuah gengsi begitu mahalnya. Kita seringkali rela mengeluarkan jutaan hingga ratusan juta untuk membiayai gengsi kita.
Safak Muhammad (www.nurulhayat.org)
READ MORE - Mahalnya Harga Sebuah Gengsi

Berproses Menuju Keluarga Barokah


Sungguh aneh! Bukan hanya sederhana, tapi sangat… sangat… sederhana. Rumah itu benar-benar dari sesek (bambu) dan alasnya benar-benar tanah yang hanya dilapisi plastik. Itulah gambaran rumah kawan saya dan saudara-saudaranya yang berada di lingkungan salah satu pesantren di daerah Turi, Lamongan.

Orang di sekitarnya pada terheran-heran, malah ada yang mengumpat, “Gendeng be’e (gila mungkin).” Bagaimana tidak? Di tengah “perlombaan” penduduk desa untuk mewujudkan mimpi membangun rumah tembok sebagai simbol kemajuan, justru dia membangun rumah gedhek.
Bukan hanya penduduk sekitar yang heran, saya-pun dibuat terkejut saat berkesempatan berkunjung ke sana. Ya mengapa, padahal dana juga ada. Tapi keheranan itu mulai sirna ketika kami menerima penjelasan.
“Bukankah rumah ini hanya sementara. Dan tidak akan kita bawa mati!”
“Lalu untuk apa kita bermewah-mewah dengan sesuatu yang akan kita tinggalkan. Bukankah justru itu yang gila sungguhan?”
“Karena itu, prinsip kami ‘rumah akherat’ harus lebih baik dari ‘rumah dunia’. Demikianlah yang dipesankan Bapak Guru.” Bapak Guru adalah panggilan almarhum ayah mereka. Rupanya pesan almarhum sang ayah benar-benar mereka praktikkan dalam kehidupan nyata. Sebab sang ayah tidak hanya pandai berbicara, melainkan dia sendiri yang memberi contoh hidup dengan rumah yang sangat sederhana. Rumah induk almarhum ayah mereka, kurang lebih sama kondisinya.
Satu-satunya bangunan “mewah” di kompleks pesantren itu hanyalah masjid. Tentu, yang dimaksud mewah bukan karena struktur dan ornamen yang megah dan mahal, melainkan hanya sebuah bangunan tembok.
“Masjid adalah simbol spiritual; simbol kehidupan akherat. Oleh karena itu kami membangunnya dengan istimewa,” jelasnya.
Banyak versus Bersih
Pada hari ketika tidak ada gunanya harta dan keturunan. Kecuali orang yang datang dengan hati yang bersih.” (asy-Syu’ara/26:88-89)
Mungkin di antara kita banyak yang tidak siap memiliki rumah gedhek seperti itu. Tetapi penting untuk diambil filosofi yang dipraktikkan kawan saya itu: bahwa “rumah akherat” lebih penting dari “rumah dunia”.
Apa maknanya? Bahwa dalam membangun keluarga, tujuan penting kita adalah akherat. Maka segala daya kehidupan dunia ini seharusnya diarahkan untuk kesuksesan kehidupan akherat. Dan seperti diperingatkan Allah dalam firman di atas, harta dan keturunan (pengikut) tidak lagi berguna saat kita menghadap-Nya, karena semuanya akan ditinggal. Yang mengiringi kita hanyalah amal kebajikan yang telah kita torehkan di dunia. Hal itu menuntut kita berhati-hati dalam membangun keluarga, terutama yang berkaitan dengan harta: bagaimana wujudnya, dari mana sumbernya, dan bagaimana cara mendapatkannya?
Berkaitan dengan harta ini penting diresapi beberapa hal. Pertama, dalam Islam diajarkan untuk mencari harta sebersih-bersihnya, dan bukan sebanyak-banyaknya.
Maka kisah rumah gedhek di atas menjadi penting untuk direnungi, bahwa kita bisa hidup (bahagia) meskipun dengan kondisi sangat sederhana. Lebih penting lagi karena kesederhanaan itu adalah jalan hidup keselamatan yang dipilih untuk tidak tergelincir pada cara-cara mencari harta yang syubhat, apalagi haram. Sementara Rasulullah saw mengingatkan, “Setiap jasad yang tumbuh dari harta haram, maka nerakalah yang lebih tepat menjadi tempatnya.” (riwayat al-Hakim, al-Baihaqi dan dishahihkan oleh al-Albani).
Bukan hanya rugi di akherat, di dunia pun kesengsaraan sudah menghadang. Terlalu banyak contoh bagaimana orang-orang yang terobsesi memperkaya diri tetapi dengan cara mengabaikan etika dan moral. Maka, bukan kebahagiaan, kesejahteraan, atau kesuksesan yang digapai, melainkan hilangnya martabat diri dan keluarga. Banyaknya orang-orang yang semula terhormat dan akhirnya masuk bui akibat tindak kejahatan korupsi adalah contoh yang tak terbantahkan.
Tapi harap diingat bahwa korupsi bukan monopoli dilakukan para pejabat (tinggi). Kita semua: pegawai negeri, pegawai swasta, pedagang, salesman, sampai tukang parkir, berpotensi melakukan korupsi dalam beragam variasinya.
Kedua, jika dengan cara sebersih-bersihnya kita mampu menjadi kaya, maka dalam Islam diajarkan pula bahwa dalam kekayaan itu terdapat hak orang lain. Artinya Islam sangat mendorong umatnya untuk berbagi dalam bentuk zakat, infak, dan sedekah (baca misalnya ancaman Allah bagi yang tidak menafkahkan hartanya di jalan Allah dalam at-Taubah/9:34-35).
Maka kisah rumah gedhek di atas sangat bermakna karena harta yang sebenarnya bisa dipakai untuk membangun rumah tembok justru dialokasikan untuk membantu sesama, seperti yang juga dicontohkan oleh pesantren tersebut. Inilah makna “rumah akherat” lebih penting dari “rumah dunia”.
Ketiga, dengan harta yang sebersih-bersihnya dan telah ditunaikan hak-haknya itu, tentu akan diliputi barakah Allah. Sebaliknya jika tidak mengindahkan dua hal itu, maka akan mendapat bencana seperti yang diingatkan Rasulullah SAW, “Tidaklah mereka berbuat curang dalam hal takaran dan timbangan melainkan mereka akan ditimpa paceklik, biaya hidup mahal, dan perilaku jahat para penguasa. Dan tidaklah mereka enggan untuk membayar zakat harta mereka, melainkan mereka akan dihalangi dari mendapatkan air hujan dari langit, andailah bukan karena binatang ternak, niscaya mereka tidak akan diberi hujan.” (riwayat Ibnu Majah, al-Hakim, al-Baihaqi dan dinyatakan sebagai hadits hasan oleh al-Albani)
Sementara harta barakah akan mengantarkan kita pada keluarga barakah. Inilah yang dijanjikan Allah dalam surat al-A’raf/7:96: “Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka barakah dari langit dan bumi…”
Mencari harta sebersih-bersihnya dan mengeluarkan hak orang lain dari harta kita adalah sebagian implikasi keimanan dan ketakwaan. Maka janji Allah bagi keluarga yang beriman dan bertakwa (sebagai lingkaran terkecil sebuah negara), akan diberikan barakah dari segala penjuru.
Keluarga yang barakah ini sangat penting perannya dalam membentuk komunitas masyarakat barakah yang lebih luas lingkupnya: desa, negara, dan dunia. Maka jangan remehkan peran keluarga barakah. Semoga keluarga kita mampu berproses menuju ke sana! [*] 
Amin Justiana (www.nurulhayat.org)
READ MORE - Berproses Menuju Keluarga Barokah

Menjebol Karang Keras


Anak yang sangat amat nakal, begitulah kesan Bunda saat pertama kali bertemu denganmu. Betapa tidak, baru kali ini Bunda mendapati anak baru di Panti Asuhan kita yang amat susah dikendalikan seperti dirimu, ugal-ugalan dan kerap berkata kasar. Namun saat Bunda menengok kembali masa lalumu sebelum bergabung dengan Panti Asuhan ini, Bunda jadi mahfum. Konon, kau tinggal di dekat pelabuhan, tak jarang kau berkeliaran di kapal-kapal, bahkan Bunda dengar kau pun kerap tidur malam di warung-warung. Ah, rupanya dari sanalah segala perbendaharaan akhlak dan kata-kata kasar itu kau dapatkan, pantas saja…
Sewaktu kita pertama kali berkenalan, tak henti-hentinya kau mengganggu Bunda dengan aneka atraksi liarmu. Menggelayuti jilbab dan baju Bunda sampai acak-acakan, memukul-mukul kaleng di dekat telinga Bunda, sampai-sampai Bunda harus merayumu setengah mati agar kau mau mengembalikan HP Bunda yang sejak tadi kau pinjam dengan paksa. Hhaah…
Ternyata itu belum seberapa. Puncak ‘perseteruan’ kita terjadi saat kau mengganggu temanmu. Bunda pun menasehatimu dan menyuruhmu meminta maaf kepada temanmu itu. Namun kau malah memberontak dan memukul Bunda, lalu secepat kilat berlari ke kamarmu.
Esoknya, Bunda pikir kau akan minta maaf pada Bunda. Namun jauh panggang dari api, kau malah makin semangat saja mengobarkan api permusuhan pada Bunda. Tak terhitung berapa kali kau olok-olok Bunda, bahkan sempat hendak kau siram Bunda dengan air dari selang. Masya Alloh, Bunda tidak tahu apa yang harus Bunda katakan padamu…
Awalnya Bunda mendiamkanmu, Bunda tak menyapamu serta bersikap acuh terhadapmu. Bunda pikir, dengan begitu kau akan jadi merasa bersalah dan terdorong untuk meminta maaf. Amboi, tinggi sekali harapan Bunda, padahal tingkahmu justru makin menjadi-jadi.
Penasaran denganmu, Bunda pun menanyakan perihal tentangmu pada pengasuh yang terdahulu. Alangkah kagetnya Bunda, ternyata menurut pengasuh tersebut kau memang tipe pendendam yang amat susah ‘berdamai’ dengan orang yang pernah terlibat masalah denganmu. Pengasuh tersebut bahkan bercerita bahwa dulu ada seorang pengasuh yang tak sengaja mengatakan sesuatu yang melukai hatimu. Kau pun membenci pengasuh tersebut, hingga tak mau lagi berbicara dengannya, tak mau menyapanya, bahkan tak mau menerima apa pun yang diberikannya untukmu. Kalau ada yang menyebut-nyebut namanya di depanmu, tak segan kau memarahi orang itu. Masya Alloh, alangkah susahnya membuka hatimu untuk memaafkan orang lain Nak…
Belajar dari pengalaman tersebut, Bunda pun mulai memikirkan cara untuk ‘berdamai’ denganmu. Bunda tak ingin hubungan kita berakhir beku seperti hubunganmu dengan pengasuh tersebut. Meski awalnya engkau yang salah, tak masalah bila Bunda yang harus mengalah, asal hubungan kita bisa kembali normal, atau bahkan jadi makin dekat, sedekat sahabat…
Alhamdulillah, momen untuk ‘berdamai’ itu pun akhirnya tiba. Alloh yang mengaturnya untuk kita, pada suatu siang yang panas…
Di ujung gang Panti Asuhan kita meluncur sebuah sepeda yang dikendarai dengan kencang. Makin dekat ke arah Bunda, makin jelas terlihat, rupanya pengendara sepeda itu adalah kau. Entah kenapa, tiba-tiba sepedamu terlihat oleng, dan dalam sekejap engkau tersungkur di aspal jalan, tangan dan kakimu berdarah-darah. Segera Bunda berlari ke arahmu, membopong tubuh mungilmu lalu membaringkanmu di tempat tidur. Bunda basuh lukamu dengan air hangat lantas mengobatinya. Kau yang sedari tadi meringis kesakitan, tak pernah lepas menatap wajah Bunda, sejenak kemudian kau bertanya…
“Kenapa Bunda menolongku? Bukankah selama ini aku tak pernah bersikap baik kepada Bunda?”
Bunda tersenyum kecil sambil menatap bola matamu dalam-dalam, lantas Bunda jawab, “Karena Bunda tidak punya alasan untuk tidak bersikap baik pada anak-anak Bunda.”
Kau tampak terkesiap dengan jawaban Bunda, segurat sesal tergambar jelas di wajahmu, namun rupanya kau masih terlalu gengsi dan malu untuk meminta maaf. Tak apa, paling tidak, mulai saat ini kau tahu bahwa Bunda menyayangimu, dan telah memaafkanmu sebelum engkau sempat mengutarakan kata maaf pada Bunda.
Hari ini Bunda memintamu untuk beristirahat saja, tak usah beraktivitas macam-macam dulu. Esok Bunda memintamu untuk menemui Bunda setiap selesai makan siang, Bunda janji akan meminjamkan HP Bunda padamu.
Esok dan esoknya kita jadi rutin mengobrol sambil menemanimu mengutak-atik HP. Mula-mula Bunda hanya mengobrol ringan saja denganmu, tentang hobby mu bermain futsal, tentang makanan kesukaanmu, juga tentang keluargamu yang tinggal di pulau garam. Hingga kita jadi dekat, sedekat sahabat. Setelah kita dekat, dan jadi akrab, perlahan-lahan Bunda sisipkan nilai-nilai positif dalam setiap obrolan kita. Tentang saling menyayangi, tentang berkata-kata lembut, tentang sikap saling menolong, dan lain sebagainya.
Sekarang barangkali belum terlihat jelas hasilnya. Namun lama kelamaan Bunda yakin kau akan berubah menjadi lebih baik. Memang harus gigih jika ingin menjebol karang keras seperti dirimu. Barangkali butuh waktu yang tidak sebentar, energi yang tidak sedikit, juga kesabaran yang tak putus-putus untuk mendidikmu agar menjadi pribadi yang sholih. Bunda pun selalu berdoa kepada Alloh agar senantiasa melimpahimu dengan hidayah dan rahmat-Nya. Aamiin…
Hani Fatma Yuniar (www.nurulhayat.org)
READ MORE - Menjebol Karang Keras

Rumah Tangga Harmoni atau Rumah Tangga Islami?




Rumah Tangga Harmoni atau Rumah Tangga Islami?



Pilih mana? Rumah tangga harmoni atau rumah tangga Islami. Ah, tak layak ditanyakan. Siapapun tahu keduanya adalah satu kesatuan. Jika rumah tangga itu Islami, pastinya ia akan menghadirkan keharmonisan. Keduanya saling berkaitan seperti dua sisi mata uang. Berhubungan sebagai sebab-akibat.
Rumah tangga Islami ialah rumah tangga yang didalamnya ditegakkan adab-adab Islam, baik yang menyangkut individu maupun keseluruhan anggota rumah tangga. Rumah tangga Islami, kata ustadz Tjahyadi Takariawan dalam buku “Pernak-Pernik Rumah Tangga Islami”, adalah sebuah rumah tangga yang didirikan atas landasan ibadah, mereka bertemu dan berkumpul karena Alloh, saling menasehati dalam kebenaran dan kesabaran, serta saling menyuruh kepada ma’ruf dan mencegah yang munkar karena kecintaan mereka kepada Alloh.
Pengertian di atas, dalam pengimplementasiannya bisa beraneka ragam. Ada yang cukup menganggap jika semua keluarga bisa sholat lima waktu, puasa romadhon, menutup aurat maka itu sudah dikatakan rumah tangga berlandaskan Islam. Ada yang memberi ukuran diatasnya lagi, misalkan menghidupkan ibadah-ibadah sunnah dirumah, komitmen serius memberikan kontrol ketat terhadap televisi, bersungguh-sungguh menjaga akhlak, aktif dalam dunia dakwah dan lain sebagainya.
Kalau perbedaan itu muncul disebabkan faktor ketidaktahuan, karena belum mendalami Islam secara kaffah, maka solusinya adalah menambah ilmu. Baca buku atau mendengar ceramah-ceramah tentang ibadah secara hakikat dan syariat. Tapi bagaimana dengan yang belajar saja enggan, komitmen mereka ke arah rumah tangga islami lemah bahkan hampir tidak ada.
Inilah kenapa kita bertanya “pilih mana rumah tangga harmoni atau rumah tangga Islami?”. Karena kenyataannya memang banyak yang beranggapan “membentuk rumah tangga harmoni tak harus Islami”.

Agama bukan satu-satunya alternatif untuk mendapat ketentraman rumah tangga (?)
Dalam setiap biduk rumah tangga, ada perbedaan tingkat keyakinan terhadap hubungan positif antara membina rumah tangga islami dengan ketentraman keluarga. Setidaknya kita bisa melihat, karena ketidakyakinan itu, tak sedikit mereka yang berstatus muslim tapi menjalani pernikahan tanpa atau tidak terlalu menancapkan komitmen “rumah tangga islami” di keluarganya. Sejak awal pernikahan sama sekali tidak terdengar komitmen-komitmen ketaatan. Pernikahan berjalan secara linier tanpa ada sentuhan ibadah didalamnya. Tidak ada kekhasan yang bisa membedakan dengan rumah tangga nonmuslim. Aktivitas fisik hanya selesai pada urusan bekerja di kantor, memasak, olahraga, mempercantik diri, berhubungan suami-istri dan lain sebagainya. Demikian pula aktivitas batin yang tak jauh beda, hanya berisi urusan saling menanamkan cinta, rindu dan kasih sayang pada suami,istri dan anak-anak, tidak lebih.
Ada seorang teman kita yang mengatakan, “keluarga si fulan itu tidak sholat, tidak terlihat mereka taat ibadah, tapi ekonominya berkecukupan, buktinya mereka tentram dan bahagia”. Lebih panjang lebar lagi si teman kita ini memberikan analisanya, bahwa ketentraman yang terlihat di keluarga mereka disebabkan faktor kepribadian suami-istri yang sama-sama humanis, cerdas emosi dan mapan ekonomi. Kemudian teman kita ini membandingkan “Lihat saja yang satunya, dia sholat, istrinya juga taat, tapi tak cukup memberi semangat bagi saya untuk membina rumah tangga seperti mereka, ekonominya biasa-biasa saja”.
Kita mungkin pernah mendengar pernyataan-pernyataan seperti ini. Atau malah kita sendiri punya pertanyaan yang sama sebagaimana teman kita ini. Yang dilihat teman kita ini bisa jadi memang benar, artinya tak ibadah pun mereka tetap harmonis. Tapi bisa juga salah, mereka sesungguhnya tidak bahagia.
Kita mulai dari sini.
Mari kita dengar pernyataan Steven Covey penulis buku monumental “Seven Habits of Highly Effective People” . Covey mengatakan, “kecerdasan emosionalitas dan intelektualitas tanpa bersumber spiritualitas akan kehabisan energi dan berbelok arah”. Spiritualitas dalam hal ini adalah urusan ketuhanan, yaitu ketaatan dalam beragama.
Menurut Covey, jika hidup (baca: keluarga) tanpa disentuh spiritualitas, akan kehabisan energi. Maksudnya begini, energi berbuat baik itu ada sumbernya. Apabila sumbernya habis maka energi itu juga akan habis. Pertanyaan selanjutnya, sampai kapan energi berpikir positif, energi sabar dan telaten mendidik anak, energi sabar ketika ada ketidakcocokan dengan pasangan, energi setia terhadap pasangan untuk sekedar tidak ngelirik kemana-mana atau energ-energi positif lain yang diajarkan oleh teori-teori barat itu akan bertahan. Dalam beberapa hantaman gelombang pertama mungkin masih bisa bertahan. Tapi hantaman-hantaman berikutnya, barangkali bahtera itu sudah kandas atau tenggelam di dalam lautan. Tanpa ada sandaran yang kokoh, kata Covey, nilai-nilai positif itu tidak akan bertahan lama.
Kemudian menurut Covey lagi, kita akan berbelok arah. Untuk yang ini, ijinkan penulis memberi contoh yang sangat tak menyenangkan buat anda. Misalnya begini, karena senyum suami anda yang menawan, kemampuan komunikasinya yang baik, pandai menyentuh hati orang dengan pujian, ditambahi kantong yang sedikit tebal, eh ternyata kebaikan itu digunakan untuk yang “aneh-aneh”, nah!. Pada “penyakit” yang stadiumnya masih rendah, berbelok arah berkaitan dengan ketidakjujuran, pamrih dan ketidaktulusan hati ketika berbuat baik.
Maka teori baratpun saat ini menyimpulkan, spiritualitas (keyakinan dan komitmen beragama) adalah satu-satunya, tidak ada yang lain, sebagai kunci mempertahan nilai-nilai kebaikan. Dan kebaikan yang konsisten itu, akhirnya akan melanggengkan suasana tentram dalam rumah tangga.
Apalagi bagi kita sebagai muslim, yang aturan dan tuntunan agamanya begitu sempurna. Coba rasakan dan bayangkan, betapa besarnya energi berbuat baik pada pribadi seorang suami ketika hatinya terisi keyakinan dan kepatuhan pada sabda Rosululloh berikut ini, “Barangsiapa yang beriman pada Alloh dan hari akhir, janganlah ia mengganggu tetangga dan berbuat baiklah kepada wanita.(HR. Bukhori)
Subhanalloh, dalam islam berbuat baik kepada istri adalah ukuran keimanan kepada Alloh dan hari akhir.
Ah, anda para istri, benar-benar akan menjadi ratu di rumah sendiri.
Kebahagiaan Hakiki
Ketika sumber energi berbuat baik itu habis atau ketika kebaikan tujuannya menjadi berbelok arah, maka saat itu titik dimana dimungkinkan terjadi ketidaktentraman. Stress dan perselisihan riskan untuk muncul di permukaan. Kalaupun teman kita tadi berkata bahwa ada keluarga yang tanpa menghidupkan suasana Islami tetap bisa tentram dan bahagia, ukurannya masih sangat subyektif. Jangan-jangan hanya di permukaan, keadaan sebenarnya tidak demikian. Atau, dia bahagia pada kondisi dimana dia belum waktunya untuk bahagia. Loh, maksudnya?
Ukuran kebahagiaan, bagaimanakah ukuran kebahagiaan. Kita ambil pengertian sederhananya saja, menurut penulis, bahagia itu diukur dengan keadaan puas dan tidak adanya kesedihan dalam diri seseorang.
Ukurannya subyektif sekali. Karena sifatnya yang personal itu, maka bahagia dipengaruhi oleh kapasitas ilmu dan pemahaman pribadi masing-masing orang.
Contoh, apakah koruptor itu hidupnya bahagia?. Jawabannya relatif. Bisa “ya”, bisa “tidak”.
Jika koruptor itu, anggap saja sama sekali tidak punya keyakinan kepada Tuhan. Di benaknya tidak ada pikiran adanya balasan api neraka, maka kemungkinan besar ia akan bahagia. Selama tidak ada yang tahu kejahatannya, ia tetap berada dalam kebahagiaannya. Dengan demikian keputusan sementara, KORUPTOR ITU TERNYATA HIDUPNYA BAHAGIA.
Namun beda keadaannya, jika koruptor itu setelah melakukan kejahatan ia sadar dan takut akan kemurkaan Alloh padanya. Ia yakin akan balasan akhirat. Hari-harinya dihantui rasa menyesal dan ketakutan akan ancaman siksa kubur dan api neraka. Maka walau tidak ada yang tahu, ia tidak bahagia atas kejahatan yang dilakukannya. Lihat, KORUPTOR ITU TERNYATA HIDUPNYA TIDAK BAHAGIA.
Dari contoh di atas mudah-mudahan anda sudah bisa menyimpulkan maksud penulis.
Hukum-hukum yang ada di luar kita akan tetap berlaku tanpa peduli kita memperhatikannya apa tidak. Sampai kapanpun, balasan surga bagi orang yang beramal sholih tetap berlaku sebagaimana neraka disediakan untuk orang-orang yang berbuat kejahatan dan kemungkaran. Tak perlu menunggu kita percaya terhadap itu semua atau tidak.
Pertanyaannya, kalau kita bahagia saat ini, sudahkah kebahagiaan itu juga mengundang kebahagiaan di akhirat nanti?. Apakah kita tetap akan merasa bahagia dengan melimpahnya harta, suami kaya, istri cantik, anak-anak yang pintar walau tak melaksanakan ibadah sholat misalnya?. Percayalah, bahagia disebut hakiki itu jika ada tiga hal, pertama : tahan lama, kedua : sumber kebahagiaan itu suci, yang ketiga: BERBUAH SURGA.

Rumah Tangga Sumber Ibadah Utama
Kalau saja pernikahan tidak dipahami sebagai sarana berbagi kasih suami-istri semata, namun lebih utama adalah media ibadah kepada Alloh, pasti semua keluarga muslim akan berkomitmen untuk menghidupkan rumah tangganya secara Islami. Suaminya memimpin, dengan memimpin secara Islami. Istri bersikap dengan akhlak yang Islami. Dan anak-anak, dididik dengan pendidikan Islami.
Suami atau istri memiliki amanah yang tali pengikatnya tersambung sampai ke langit ke tujuh. Ada tanggungjawab yang diamanahkan Alloh yang harus ditunaikan, apapun peran yang dipegang, baik sebagai suami maupun istri. Alloh berfirman di dalam Al-Qur’an “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Alloh terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS. At-Tahrim : 6)
Maka, hidupkanlah rumah kita dengan ketaatan. Hiasi dengan ibadah sunnah dan akhlak-akhlak mulia para penghuninya. Undanglah para malaikat untuk senang berkunjung ke rumah kita dengan tilawah Al-Qur’an. Mudah-mudahan rumah tangga kita menjadi miniatur surga sebelum surga sesungguhnya.
Baiti Jannati. Wallohu A’lam bisshowab..
www.nurulhayat.com
READ MORE - Rumah Tangga Harmoni atau Rumah Tangga Islami?