POS PENGELUARAN UNTUK BERBAGI


Suatu hari, selepas sholat jum’at seorang teman mengatakan kepada saya, “Mas, anda tadi lihat kan? Beberapa orang masukin uang ke kotak amal dengan uang receh yang jumlahnya cuma Rp.500? Heran, orang mau masuk surga kok nyumbang ke mesjid hanya Rp.500,- Emangnya surga harganya hanya semurah itu?”

Mendengar omongan itu, saya balik bertanya, “Emangnya anda tahu, kalau mereka itu hanya nyumbang ke mesjid Rp.500?”
“Mungkin aja, lha yang saya lihat mereka pegang uang koin, terus begitu uangnya dimasukkan, kotak amalnya berbunyi.” jawabnya cepat. Kemudian teman saya ini menambahkan, “Bayangkan saja, berapa nilai investasi akhirat kita (sedekah) bila kita hanya memasukkan uang receh Rp.500,- atau Rp. 1000,- per hari Jumat?
Kalau rata-rata hari Jumat ada 4 kali dalam sebulan atau 48 kali dalam setahun, maka dengan asumsi Rp.1000,- per Jumat maka kita hanya mengumpulkan uang investasi akhirat Rp. 48.000,- per tahun. Apakah uang ini cukup ‘membeli’ surga? Bukankah uang sebesar ini hanya cukup untuk membeli kaos oblong?”
Kalau asumsi lamanya kita hidup di dunia ini sekitar 60-70 tahun atau taruhlah kita ambil rata-ratanya saja yaitu sekitar 65 tahun, maka hitungan besarnya investasi untuk kehidupan akhirat kita hanya sebesar 48.000 x 65 = Rp. 3.120.000. Uang sebesar itu tidak lebih besar dari harga tiket pesawat Surabaya-Jakarta PP. Anda dapat bayangkan, hanya sebesar itukah investasi kita untuk perjalanan dan kehidupan kita ke akhirat kelak? Bayangkan, itu investasi akhirat kita seumur hidup loh…
Memang tidak dapat dipungkiri bahwa sebagian besar dari saudara-saudara kita, memberikan uang amal ‘ala kadarnya’ saja. Dengan alasan yang lebih penting adalah keikhlasannya. Maka untuk sedekah tidak harus besar. Karena itu, kita juga sering mendengar ungkapan, “daripada sedekah besar tidak ikhlas, lebih baik sedikit tapi ikhlas”. Ungkapan ini tentu saja tidak salah namun juga tidak sepenuhnya benar.
Kenapa ungkapan itu tidak kita dibalik saja sehingga menjadi, “lebih baik sedekah besar dengan ikhlas, daripada sedekah kecil walaupun juga ikhlas?”
Memang banyak sekali faktor yang menyebabkan kondisi seperti diatas tadi bisa terjadi. Diantaranya adalah karena faktor pemahaman kita yang masih rendah terhadap manfaat sedekah (berbagi). Atau terkadang hal itu disebabkan karena kita seringkali tidak berpikir untuk kehidupan kita di ‘akhirat’ kelak.
Selain itu dalam pengelolaan keuangan konvensional seringkali kita lupa untuk membuat pos khusus berbagi (untuk bersedekah). Kita seringkali disibukkan oleh kegiatan merencanakan pengeluaran rutin kita seperti misalnya pengeluaran untuk kebutuhan pokok, sandang, biaya pendidikan, biaya kesehatan hingga biaya cadangan.
Padahal sesungguhnya kehidupan ini bukan hanya strict untuk hidup diri sendiri dan keluarga saja, akan tetapi bagaimana kita juga bisa berbagi dengan sesamanya. Selain itu, sebenarnya apa yang kita lakukan dan kita kerjakan di dunia ini adalah untuk mempersiapkan kehidupan kita yang kadarnya lebih abadi, di akhirat kelak. Persiapan di akhirat, tentu saja tidak cukup hanya dengan shalat, dan berbuat baik dengan sikap dan perilaku kita saja. Akan tetapi kita juga harus “membeli” akhirat dengan harta yang kita miliki.
Ibaratnya kalau untuk membangun rumah tinggal di dunia saja kita membutuhkan uang dan tabungan, maka untuk mendapatkan rumah tinggal di surga tentunya juga perlu uang dan investasi yang juga besar. Alangkah bodohnya bila ternyata kita tidak mampu membangun rumah di akhirat, sementara kita hanya sibuk mengurus keperluan dunia saja. Selain itu, hal ini juga sesuai dengan perintah shalat yang selalu diikuti dengan perintah zakat (Aqimish-shalat, waatuzzakat) yang dalam Al Qur’an sampai diulang-ulang tidak kurang sampai 32 ayat.
Karena itu, seharusnya dalam proses pengelolaan keuangan, kita harus membuat perencanaan dengan menyisihkan prosentase tertentu setiap bulannya untuk investasi akhirat. Dengan membuat perencanaan dan menyisihkan sebagian uang kita untuk berbagi setiap bulan, maka kita tidak lagi ‘asal-asalan’ dalam beramal. Karena ada target penyisihan uang untuk berbagi, dan kegiatan ini dapat kita jadikan sebagai kebiasaan/rutinitas.
Jika kita telah merencanakan untuk membuat pos pengeluaran untuk berbagi dalam setiap bulannya, lalu pertanyaan berikutnya adalah berapa seharusnya target uang yang harus disisihkan untuk berbagi (sedekah)? Memang untuk ini tidak ada patokan yang baku. Besar kecilnya uang untuk sedekah tentu sangat tergantung pada tingkat kesadaran masing-masing orang.
Semakin seseorang menyadari betapa pentingnya sedekah, maka pastinya akan semakin besar uang yang ia sisisihkan untuk bersedekah. Orang yang demikian ini biasanya menyadari bahwa memberi dan beramal dengan cara berbagi kepada sesamanya adalah sangat bermanfaat bagi dirinya sendiri. Baik untuk kehidupan di akhirat nanti maupun untuk mempermudah urusan-urusan di dunia seperti menolak bala, meningkatkan kekayaan dan kebarokahan atas harta yang kita miliki di dunia ataupun manfaat-manfaat lainnya.
Besarnya pos pengeluaran untuk berbagi (sedekah) ini, harus ditetapkan di luar kewajiban kita dalam menunaikan zakat. Dengan demikian, kalau misalnya kewajiban zakatnya 2,5% (bagi gaji pegawai), maka pos sebaiknya pengeluaran untuk berbagi harus lebih besar dari itu, misalnya 5%, 10% atau 20% dari penghasilan bulanan.
Sebagai contoh, bila penghasilan anda sebulan sebesar Rp. 5.000.000,- dan anda menetapkan pos untuk berbagi sebesar 5%, maka anda harus menyisihkan sebesar Rp. 250.000 ditambah untuk zakat Rp. 125.000 (total Rp. 375.000). Uang ini harus anda sisihkan saat anda menerima gaji bulanan. Kemudian uang Rp. 250.000 ini bisa anda gunakan untuk berbagi, misalnya memberikan sumbangan untuk membantu saudara-saudara kita yang sedang tertimpa musibah bencana alam, seperti gempa atau  banjir misalnya.  Dapat juga kita berikan untuk sumbangan kotak amal masjid, panti asuhan atau tempat beramal lain di manapun yang anda suka. Dengan cara ini maka kita tidak lagi memasukkan uang koin Rp.500,- ke kotak amal lagi karena sumbangan kita sudah jauh lebih besar jumlahnya.
Bila dengan cara ini ternyata masih membuat kita lupa untuk menyisihkan uang untuk berbagi, kita bisa bekerja sama dengan lembaga atau yayasan amal tertentu untuk melakukan kontrak sumbangan rutin kepada lembaga atau yayasan tersebut, dan kita bisa meminta pihak yayasan amal ini untuk menagih setiap bulannya. Banyak lembaga yang bersedia melakukan hal ini. Beberapa yayasan juga menyediakan paket berbagi seperti paket orang tua asuh dengan setoran rutin setiap bulannya, atau paket berbagi/amal lainnya.
Dengan cara ini, maka Insay Alloh kita tidak lagi ‘asal-asalan’ dalam beramal. Uang berbagi tidak lagi berdasarkan pada perasaan enak atau tidak enak, tetapi kegiatan ini sudah menjadi bagian terencana dari pengelolaan keuangan kita. Sehingga amalan kita menjadi lebih terarah dan lebih bermanfaat karena sudah terbentuk menjadi kebiasaan/rutinitas. Dengan cara ini pula, tentu saja dapat diartikan kita juga telah menyiapkan untuk kehidupan akhirat kita nanti dengan lebih baik.
Safak Muhammad (www.nurulhayat.org)

0 komentar:

Posting Komentar