Mahalnya Harga Sebuah Gengsi


Anda mungkin pernah mendapatkan guyonan atau bahkan ledekan dari teman atau kolega anda. Guyonan yang mengarah pada olok-olok tentang sesuatu yang kita miliki atau barang-barang yang sehari-hari kita gunakan. Kira-kira guyonan yang bernada olok-olok itu ada yang seperti ini, “Handphone seperti itu kok masih dipake! Itu HP pantasnya kan hanya untuk memukul anjing.” kata mereka.

Atau ada juga yang bilang kepada anda, “Mobil butut kok masih dipakai sih? Anda itu kan seorang bos, masa pake mobil jaman pra sejarah begitu.” Dan mungkin masih banyak lagi guyonan-guyonan bernada ejekan seperti yang saya sebutkan di atas.
Semua olok-olok yang dilontarkan teman-teman anda itu memang pada intinya cuma sekedar bahan hiburan untuk membuat suasana lebih segar hingga Andapun mungkin bisa menanggapi dengan cuek guyonan itu. Semua guyonan itu mampu kita anggap layaknya angin lalu yang setelah bertiup dan kita dirasakan sedikit sapuannya yang lembut sebentar kemudian ia pergi tak memberikan bekas apapun di hati kita.
Tetapi ternyata pada kenyataannya tidak sedikit orang yang tidak ‘tahan’ dengan guyonan seperti itu. Hatinya merasakan perih dan perasaannya gundah gulana hingga mampu mengganggu siklus tidur lelapnya. Mereka terngiang-ngiang dan terpengaruh dengan guyonan itu sehingga kemudian tanpa petimbangan panjang lalu kalang kabut memborong barang-barang yang masih fresh maupun benda-benda terbaru hanya sekedar untuk memenuhi rasa gengsinya. Kalau ternyata anda memang memiliki cukup uang tentu saja anda tidak akan dihadapkan dengan permasalahan karena anda bisa saja langsung pergi ke toko dan membeli barang-barang tersebut.
Namun sesungguhnya, permasalahannya tidaklah kelihatan segampang dan sesederhana itu. Dalam prinsip pengelolaan keuangan yang benar, membeli sebuah barang seharusnya juga memperhatikan betul akan manfaat dari barang yang akan kita beli. Sebab salah satu dari tujuan membeli barang adalah membeli manfaat atas barang tersebut, bukan semata-mata membeli “benda”nya.
Tetapi seringkali kita melihat bahwa orang membeli barang namun barang yang dibeli tersebut ternyata tidak banyak manfaatnya. Sangat mungkin mereka membeli barang hanya karena faktor gengsi semata, hanya ikut-ikutan saja atau bisa juga hanya karena ingin dianggap sebagai orang kaya, ingin dianggap sebagai orang yang tampil gaya, orang yang selalu mengikuti tren dan perkembangan jaman dan sejenisnya.
Bila tujuan membeli produk atau jasa hanya sekedar untuk memenuhi kepuasan-kepuasan sesaat seperti itu, maka dapat kita katakan : Betapa mahalnya harga sebuah gengsi..!
Kalau seseorang membeli barang hanya dengan tujuan seperti itu, akibatnya dia akan melakukan cara atau jalan apa pun untuk memenuhinya. Dan justru di titik inilah, titik  kritis yang sangat membahayakan pengelolaan keuangan kita. Sebab tindakan ini hanya akan mengarahkan perilaku seseorang pada sifat konsumerisme yang berlebihan yang pada akhirnya tanpa kita sadari hal itu lambat laun akan semakin menambah beban keuangan kita, dan jika tidak segera disikapi secara bijaksana bisa berujung pada kebangkrutan. Yaitu kondisi dimana hutang menumpuk menggunung serta aset atau kekayaan yang melayang habis tak bersisa.
Jika kita lihat lebih cermat, saat sekarang ini godaan konsumerisme ada dimana-mana. Iklan bertebaran dimana–mana, iklan yang selalu membujuk kita dan anak-anak kita untuk mengikuti keinginan penjual atau pemasang iklan. Akibatnya, barang-barang yang seharusnya tidak mendesak untuk dibeli-pun, dengan adanya iklan dan dorongan hidup konsumerisme, barang tersebut menjadi sangat penting dimata kita. Sehingga kita merasa harus membutuhkan barang tersebut lalu melakukan aksi beli barang-barang yang sebenarnya tidak begitu penting tersebut.
Dalam teori perilaku konsumen, ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi keputusan seseorang untuk melakukan pembelian. Faktor-faktor itu antara lain pengaruh lingkungan seperti misalnya budaya, kelas sosial, pengaruh pribadi, keluarga dan situasi. Serta perbedaan individu seperti kepribadian, gaya hidup, demografi, motivasi, keterlibatan, pengetahuan dan sikap. Faktor-faktor inilah yang sangat mempengaruhi perilaku seseorang dalam membeli barang.
Adapun niat seseorang untuk membeli  barang bisa terjadi karena pembelian yang direncanakan atau karena pembelian yang tidak terencana (impuls buying). Pembelian akibat impuls buying inilah yang saat ini justru sering terjadi.
Banyak orang yang seringkali terdorong membeli barang tanpa melakukan pemikiran yang mendalam apakah barang yang dibeli tersebut akan memberikan manfaat untuknya atau tidak. Pembelian yang terjadi ternyata hanya disebabkan karena dorongan sesaat seperti misalnya melihat atau mendengar iklan, display (penataan produk) yang menarik, faktor ikut-ikutan karena orang lain memiliki barang yang sama dan lain sebagainya.
Menghadapi kondisi yang demikian itu, maka kita harus mampu menahan diri untuk tidak ikut-ikutan membeli barang-barang yang tidak perlu dan mampu membuat pos-pos pengeluaran prioritas. Menahan diri yang saya maksudkan di sini adalah mampu menunda kesenangan sesaat.
Prinsip menunda kesenangan sesaat itu bukan berarti tidak boleh bersenang–senang, bukan berarti kita tidak boleh membeli barang sesuai dengan keinginan, tetapi menunda kesenangan di sini kita maknai sebagai kemampuan untuk menahan diri dari mengejar kesenangan yang berlebihan.
Selain itu, kita harus mampu melakukan prioritas kebutuhan, dan bukan memprioritaskan keinginan. Antara kebutuhan dan keinginan itu berbeda. Kebutuhan adalah sesuatu yang harus dipenuhi, seperti kebutuhan akan makan, susu anak, biaya sekolah, investasi dan lainnya. Sedangkan keinginan atas suatu produk dan jasa tidak harus dipenuhi karena belum tentu merupakan kebutuhan yang harus dipenuhi.
Misalnya anda sudah memiliki handphone, ingin membeli blackberry yang saat ini sedang ngetrend. Padahal, sesungguhnya keinginan membeli blackberry itu hanya didasarkan pada pemenuhan kepuasan atas ‘rasa gengsi’ semata. Sebab bisa saja saat itu anda belum membutuhkan fitur-fitur yang ada di blackberry karena anda dalam kesehariannya hanya sekedar sms, menerima dan menelepon saja sehingga tidak membutuhkan fitur komplet yang ada pada blackberry tersebut.
Contoh lain dari keinginan yang tidak harus dipenuhi adalah keinginan untuk berganti mobil yang selalu baru, padahal manfaatnya tetap sama yakni sebagai alat transportasi. Keingingan membeli mobil terbaru itu mungkin karena anda ingin tampil gaya (gengsi), dan bukan karena alasan mendesak yang harus dipenuhi.
Berdasarkan penjelasan diatas, betapa kita menyaksikan bahwa harga sebuah gengsi begitu mahalnya. Kita seringkali rela mengeluarkan jutaan hingga ratusan juta untuk membiayai gengsi kita.
Safak Muhammad (www.nurulhayat.org)

0 komentar:

Posting Komentar